tirto.id - Aliansi puluhan organisasi masyarakat sipil, yang tergabung dalam Gerakan Solidaritas Tolak Bandara (Gestob) Kulonprogo, mendesak Presiden Joko Widodo menghentikan rencana peletakan batu pertama pembangunan Bandara Internasional di Kulonprogo, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Penolakan itu muncul setelah tersiar kabar di media massa bahwa Jokowi berencana meresmikan peletakan batu pertama pembangunan bandara tersebut pada Jumat (27/1/2017) besok.
Mereka juga mendesak Jokowi membatalkan rencana dan seluruh tahapan pembangunan bandara ini yang telah berjalan.
Kepala Departemen Advokasi Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta, Yogi Zul Fadhli, juru bicara aliansi itu mengatakan desakan ke Jokowi ini punya alasan kuat. Syarat-syarat legalitas Pembangunan Bandara Kulonprogo, menurut Yogi, hingga kini belum terpenuhi.
“Kami sangat menyayangkan dan mengecam keras (Rencana peresmian pembangunan Bandara Kulonprogo),” kata Yogi dalam siaran persnya pada Kamis (26/1/2017).
Alasan pertama penolakan itu, menurut Yogi, lokasi pembangunan Bandara Kulonprogo berada di kawasan rawan bencana tsunami. Kerawanan itu tertera dalam Perpres Nomor 28 tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Pulau Jawa-Bali, Perda Provinsi DIY Nomor 2 tahun 2010 tentang RTRW Daerah Istimewa Yogyakarta dan Perda Kabupaten Kulon Progo Nomor 1 Tahun 2012 Tentang RTRW Kabupaten Kulonprogo.
Peraturan perundang-undangan di atas juga tidak mengamanatkan pembangunan bandara di kawasan kecamatan Temon, Kabupaten Kulonprogo.
Masterplan Pengurangan Resiko Bencana Tsunami buatan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) pada tahun 2012 juga sudah memetakan kawasan utama yang punya resiko dan probabilitas tsunami tinggi. Kawasan tersebut antara lain kawasan selat sunda dan Jawa Bagian Selatan, yang didalamnya termasuk wilayah bagian selatan Kabupaten Kulonprogo yang jadi calon lokasi pembangunan bandara.
“Pemerintah justru nekad menerabas rambu larangan itu. Bandara Kulonprogo diteruskan. Bahkan hendak dikebut pembangunannya dengan target Maret 2019 beres,” kata Yogi.
Sementara Analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL) yang dibuat PT Angkasa Pura I, kata Yogi, keabsahannya di depan hukum juga meragukan.
Sebabnya, Yogi menuding pembuatan Amdal itu melompati sejumlah tahapan wajib. Sementara, aspek pelingkupan Amdal itu juga tak memiliki kesesuaian antara lokasi rencana kegiatan pembangunan dengan rencana tata ruang sesuai ketentuan peraturan perundangan.
Alasan penolakan para aktivis itu juga menyangkut kondisi lokasi pembangunan Bandara Kulonprogo yang merupakan lahan pertanian produktif. Yogi mengatakan 5 desa di Kecamatan Temon, Kulonprogo, yang menjadi lokasi pembangunan bandara, dihuni 22.000 warga dengan pekerjaan sebagai petani sawah dan tegalan yang produksi utamanya aneka sayuran dan buah, terutama cabai.
“Paling penting, Bandara Kulonprogo merampas ruang hidup masyarakat (petani),” kata Yogi.
Sebelumnya, pada Sabtu (21/1/2017) lalu, Kementerian Perhubungan merilis informasi mengenai rencana Presiden Jokowi yang segera akan meresmikan peletakan batu pertama Bandara Kulonprogo pada akhir bulan ini. Pengumuman itu muncul setelah Menteri Perhubungan (Menhub) Budi Karya Sumadi, Menteri Sekretaris Negara, Pratikno dan Direktur Utama Angkasa Pura I, Danang S Baskoro, menemui Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengku Buwono X pada akhir pekan lalu.
"Dari segi teknis PT Angkasa Pura I (Persero) sudah melakukan persiapan-persiapan yang baik dari pembebasan tanah dan persiapan teknis lain," kata Budi seusai pertemuan itu.
Budi menambahkan, "Kami berdiskusi dengan bapak Sultan untuk rencana bapak Presiden datang menghadiri (groundbreaking) pada akhir bulan ini, tentang waktunya kami akan usulkan ke Presiden melalui Mensesneg (Pratikno)."