KULONPROGO – Warga penggarap lahan Paku Alam Ground (PAG) yang tergabung dalam Forum Komunikasi Penggarap Lahan Pesisir (FKPLP) mendatangi Gedung Pemkab Kulonprogo, kemarin (1/9). Mereka menggelar aksi menuntut kompensasi ganti rugi lahan Bandara Temon.
Menyertakan sejumlah atribut berisi tuntutan, mereka juga menggelar orasi dengan penjagaan aparat kepolisan. Sejumlah perwakilan penggarap dipersilakan masuk dan bertemu Sekretaris Daerah (Sekda) Kulonprogo, Astungkoro untuk berdiskusi.
Ketua FKPLP Sumantoyo mengatakan, ganti rugi yang akan diterima Puro Pakualaman dengan nilai miliaran rupiah itu merupakan dampak hasil pengolahan lahan oleh para penggarap. Selama ini penggarap mengembangkan tanah PAG yang sebelumnya tidak produktif.
"Nilai produksi tanah yang kemudian naik inilah kemudian menjadi dasar tim appraisal memberikan ganti rugi pada Puro Pakualaman. Jadi sudah sepatutnya kami mendapatkan kompensasi," kata Sumantoyo.
Jika lahan PAG dibiarkan tidak tergarap, maka tidak mungkin Puro Pakualaman akan mendapatkan ganti rugi sebesar Rp 727 miliar. Sementara Kadipaten Puro Pakualaman selama ini hanya membiarkan lahan tersebut begitu saja.
Menurut Sumantoyo, jika tidak diolah lahan PAG di kawasan pesisir hanya berkisar Rp 150.000 per meter persegi. Sementara ketika sudah diolah harga lahannya naik menjadi berkisar Rp 450.000 per meter persegi.
"Tercatat, ada sekitar 855 penggarap yang mengerjakan PAG. Keseluruhannya merupakan warga Desa Glagah, Palihan, Sindutan, dan Jangkaran Kecamatan Temon. Kami minta kompensasi setengah atau sepertiga dari nilai ganti rugi lahan. Kami berharap sebelum 14 September atau saat pembayaran dilakukan kepastian itu sudah ada," kata Sumantoyo.
Astungkoro mengatakan aspirasi warga akan diteruskan ke Puro Pakualaman. Pejabat Bupati Kulonprogo Budi Antono juga sudah mengagendakan pertemuan lebih lanjut untuk memediasi keinginan warga.
"Beragam alasan yang sudah dipaparkan warga penggarap ini akan kami sampaikan ke Puro Pakualaman. Namun keputusan berapa nilai kompensasi sepenuhnya itu menjadi hak Puro Pakualaman," kata Astungkoro. (tom/iwa/ong)