Kulon Progo (ANTARA News) - Pemerintah Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta, mengatakan dari 4.000 kepala keluarga terdampak rencana pembangunan bandara di Kecamatan Temon, hanya 40 saja yang menolak dan tidak menindaklanjuti ke pengadilan.
"Mereka sudah memahami dan mengerti kalau menolak harus ditindaklanjuti dengan melakukan gugatan ke pengadilan. Artinya, mereka setuju dan bersedia dibayar ganti rugi lahan di pengadilan," kata Bupati Kulon Progo Hasto Wardoyo dalam rapat koordinasi Percepatan Pelaksanaan Pembangunan Bandara Kulon Progo di Kulon Progo, Kamis.
Ia mengatakan sampai saat ini hanya satu kasus yang beperkara di pengadilan. Kemudian, dari 4.500 titik pembebasan lahan, hanya 150 titik yang harus diperbaiki. Selain itu, hingga saat ini tidak ada tindakan anarkis. Warga yang awalnya menolak secara frontal sekarang minta petugas untuk mengukur lahan mereka.
"Mereka terkejut dengan nilai ganti rugi lahan yang di luar ekspektasi. Pada tahapan ini, ada (warga) masyarakat mendapat ganti rugi sebesar Rp6 miliar, bahkan Rp120 miliar," kata dia.
Terkait relokasi bagi warga terdampak bandara, Hasto mengatakan Sri Paduka Pakualam X memberikan lahan relokasi gratis di kawasan Girigondo seluas 15 hektare. Namun, bukan menjadi hak milik, melainkan magersari (hak guna).
"Kami juga menyediakan lahan relokasi di tanah kas desa. Tapi, kalau masyarakat membeli tanah yang disediakan pemerintah, kami persilakan," kata dia.
Project Manager Kantor Proyek Pembangunan Bandara Baru (New Yogyakarta International Airport/ NYIA) PT Angkasa Pura I Sujiastono mengatakan, permasalahan dalam tahapan pembebasan lahan adalah kepastian insentif pajak bagi yang berhak dan instansi yang membutuhkan tanah.
Masyarakat yang terkena pembebasan lahan karena pengadaan tanah untuk kepentingan umum perlu mendapat keringanan berupa insentif pajak.
"Berdasarkan informasi, kepastian insentif pajak sudah ada di Sekretariat Negara dan dalam waktu dekat akan ditandatangani presiden," katanya.
Editor: Suryanto