Harianjogja.com, KULONPROGO-Puluhan kambing etawa milik warga Dusun
Karang Gede diruwat dalam upacara tradisi gumbregi, Jumat (5/6/2015).
Upacara adat tersebut sudah menjadi tradisi tahunan yang digelar warga
Desa Jatimulyo.
"Kambing etawa adalah potensi ternak unggulan di desa ini. Setiap
tahunnya kami pun melakukan tradisi ini agar setahun ke depan budidaya
menjadi lebih baik dan kesejahteraan warga juga semakin meningkat,"
ujar Kepala Dusun Karang Gede Suparno, di sela kegiatan.
Suparno mengatakan, tradisi gumbregi digelar setiap tahun pasca panen
padi. Ritual tersebut juga menjadi tradisi untuk meruwat ternak agar
dapat terus berkembang biak. Di awali iring-iringan kirab bregada
prajurit rakyat, tradisi tersebut membuat ratusan warga dari beberapa
dusun berdatangan untuk menyaksikan.
"Ritual ini mengumpulkan hewan besar atau kecil, seperti kambing dan
sapi untuk diselamati. Tujuannya, agar hewan ternak dapat terus
berkembang biak, sehingga memberikan kesejahteraan bagi warga
sekitar," papar Suparno.
Namun, upacara adat tersebut pada intinya wujud ungkapan syukur kepada
Tuhan Yang Maha Esa atas nikmat dan karunia yang diberikan kepada
seluruh warga desa. Harapannya, dalam setahun ke depan limpahan
karunia dan rejeki dapat terus diberikan kepada desa ini.
Suparno menambahkn, dalam upacara adat ini ada tiga cirri khas yang
terus dipertahankan, yakni menyedekahkan ketupat, tempe goreng dan
pelas tawon. Ketiga makanan tersebut memiliki nilai filosofi yang
terus dijunjung warga desa ini.
Dia menjelaskan, ketupat menjadi simbol penyatuan antara masyarakat
desa dan pemerintah. Sedangkan tempe goreng adalah makanan
sehari-hari warga desa yang dimaknai sebagai kehidupan yang senantiasa
selalu dalam kesederhanaan.
"Satu lagi adalah pelas tawon, yakni makanan sejenis botok yang bahan
baku utamanya adalah anak-anak tawon atau lebah. Makanan ini
menyimbolkan persatuan seperti anak-anak lebah yang saling berkumpul
untuk menyatukan diri agar menjadi lebih kuat," jelas Suparno.
Tradisi ini diikuti ratusan warga dan puluhan kambing etawa, baik
milik warga maupun bantuan dari Dinas Peternakan. Suminto, salah satu
pemilik ternak berharap, ke depan kambing etawa yang dipelihara dan
dibudidayakannya lebih sehat. Dalam ritual ini, kambing berbadan tegap
dan gagah ini juga diberikan tiga makanan yang menjadi ciri khas desa
ini.
"Setiap tahun saya selalu mengikuti tradisi ini. Tujuannya, biar
ternak semakin sehat dan gemuk. Ritual ini juga diharapkan dapat
memberikan kesejahteraan dan kemakmuran bagi warga sekitar," ungkap
Suminto.
Kepala Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda dan Olahraga
(Dinbudparpora) Kulonprogo Krissutanto menandaskan, kegiatan ini
merupakan acara adiluhung yang harus terus dilestarikan. Pihaknya
mengaku, ke depan acara-acara adat seperti ini dapat diinventaris agar
dapat dilestarikan dan dikenal masyarakat luas.
"Kami berharap, acara seperti ini dapat terus berlanjut. Tentunya agar
tradisi semacam ini dapat tetap lestari dan tidak menghilang, sehingga
generasi muda dapat turut serta menjaga dan melestarikannya," tandas
Kris.
Karang Gede diruwat dalam upacara tradisi gumbregi, Jumat (5/6/2015).
Upacara adat tersebut sudah menjadi tradisi tahunan yang digelar warga
Desa Jatimulyo.
"Kambing etawa adalah potensi ternak unggulan di desa ini. Setiap
tahunnya kami pun melakukan tradisi ini agar setahun ke depan budidaya
menjadi lebih baik dan kesejahteraan warga juga semakin meningkat,"
ujar Kepala Dusun Karang Gede Suparno, di sela kegiatan.
Suparno mengatakan, tradisi gumbregi digelar setiap tahun pasca panen
padi. Ritual tersebut juga menjadi tradisi untuk meruwat ternak agar
dapat terus berkembang biak. Di awali iring-iringan kirab bregada
prajurit rakyat, tradisi tersebut membuat ratusan warga dari beberapa
dusun berdatangan untuk menyaksikan.
"Ritual ini mengumpulkan hewan besar atau kecil, seperti kambing dan
sapi untuk diselamati. Tujuannya, agar hewan ternak dapat terus
berkembang biak, sehingga memberikan kesejahteraan bagi warga
sekitar," papar Suparno.
Namun, upacara adat tersebut pada intinya wujud ungkapan syukur kepada
Tuhan Yang Maha Esa atas nikmat dan karunia yang diberikan kepada
seluruh warga desa. Harapannya, dalam setahun ke depan limpahan
karunia dan rejeki dapat terus diberikan kepada desa ini.
Suparno menambahkn, dalam upacara adat ini ada tiga cirri khas yang
terus dipertahankan, yakni menyedekahkan ketupat, tempe goreng dan
pelas tawon. Ketiga makanan tersebut memiliki nilai filosofi yang
terus dijunjung warga desa ini.
Dia menjelaskan, ketupat menjadi simbol penyatuan antara masyarakat
desa dan pemerintah. Sedangkan tempe goreng adalah makanan
sehari-hari warga desa yang dimaknai sebagai kehidupan yang senantiasa
selalu dalam kesederhanaan.
"Satu lagi adalah pelas tawon, yakni makanan sejenis botok yang bahan
baku utamanya adalah anak-anak tawon atau lebah. Makanan ini
menyimbolkan persatuan seperti anak-anak lebah yang saling berkumpul
untuk menyatukan diri agar menjadi lebih kuat," jelas Suparno.
Tradisi ini diikuti ratusan warga dan puluhan kambing etawa, baik
milik warga maupun bantuan dari Dinas Peternakan. Suminto, salah satu
pemilik ternak berharap, ke depan kambing etawa yang dipelihara dan
dibudidayakannya lebih sehat. Dalam ritual ini, kambing berbadan tegap
dan gagah ini juga diberikan tiga makanan yang menjadi ciri khas desa
ini.
"Setiap tahun saya selalu mengikuti tradisi ini. Tujuannya, biar
ternak semakin sehat dan gemuk. Ritual ini juga diharapkan dapat
memberikan kesejahteraan dan kemakmuran bagi warga sekitar," ungkap
Suminto.
Kepala Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda dan Olahraga
(Dinbudparpora) Kulonprogo Krissutanto menandaskan, kegiatan ini
merupakan acara adiluhung yang harus terus dilestarikan. Pihaknya
mengaku, ke depan acara-acara adat seperti ini dapat diinventaris agar
dapat dilestarikan dan dikenal masyarakat luas.
"Kami berharap, acara seperti ini dapat terus berlanjut. Tentunya agar
tradisi semacam ini dapat tetap lestari dan tidak menghilang, sehingga
generasi muda dapat turut serta menjaga dan melestarikannya," tandas
Kris.