- KULON PROGO, KOMPAS.com – Layanan prima bagi para penyandang disabilitas adalah memampukan kaum difabel melakoni semua kegiatannya secara mandiri dan bermartabat.Bandar Udara Yogyakarta Internasional Airport ( Bandara YIA) di Kecamatan Temon, Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta merencanakan hal serupa dengan mengupayakan perbaikan dan mengembangkan sarana dan layanan yang lebih lengkap bagi para difabel.“YIA ini (di masa depan akan menjadi) bandara yang pertama barangkali di Indonesia sebagai bandara yang ramah terhadap semua ragam disabilitas,” kata General Manager YIA dari PT Angkasa Pura I (Persero), Agus Pandu Purnama di lobi bandara, Jumat (11/10/2019).Provinsi DIY memiliki dua bandara, Adisutjipto di Yogyakarta dan YIA di Kulon Progo.Pandu mengakui, keduanya belum memberikan layanan maksimal pada penyandang disabilitas sebagai pengguna bandara meskipun bandara telah menyediakan banyak fasilitas pendukung dan sarana bagi kaum difabel ini.Ini dilatari minimnya pemahaman detil terkait kebutuhan mereka akibat banyaknya ragam disabilitas.Selama ini, AP I sudah menyediakan toilet khusus bagi difabel, kursi roda, hingga jalur untuk mereka yang tuna netra. Semua itu dirasa belum cukup menunjukkan sebagai bandara ramah difabel.Pandu mengungkapkan, YIA akan berkembang untuk bisa melayani semua jenis kebutuhan khusus ini.AP I pun menggandeng komunitas Indonesian Caring yang menaungi para penyadang cacat di Yogyakarta.Mereka menghadirkan 25 difabel untuk mengevaluasi kelebihan dan kekurangan YIA dalam melayani kebutuhan mereka.Mereka masuk dari tol gate, drop zone, check in counter, garbarata, hingga area kedatangan.“Ini ternyata beda-beda kebutuhannya. Mereka merasakan kekurangannya apa di bandara ini,” kata Pandu.Hasil asesmen ini nanti bisa saja berujung pada ada penambahan dan penyempurnaan sarana dan fasilitas di bandara nanti sehingga bisa melayani kaum difabel secara lebih baik.Pandu mencontohkan bagaimana depresi bisa saja muncul pada penyandang disabilitas mental ketika menghadapi keterlambatan pesawat yang berkepanjangan.AP bisa saja menyediakan ruang tenang dengan berbagai fasilitas pendukung bagi penyandang seperti ini.Asesmen berlangsung satu hari dan tentu akan ada hasil beragam. “Mereka yang mencatat dan kami yang akan menyediakannya,” kata Pandu.
Fasilitas ramah untuk penyandang disabilitas
Terbayang YIA di masa depan. Pandu mengungkapkan bagaimana nanti tunanetra punya jalur secara mandiri hingga mampu check in sendiri, kaum tuna rungu bisa sampai check in sendiri dengan bantuan costumer service yang mampu berbahasa isyarat.Mereka yang tuna rungu juga tak perlu tertinggal pesawat karena tidak mendengar panggilan. Mereka cukup melihat lampu menyala sebagai tanda waktunya untuk terbang.Tidak hanya bandara, pihak maskapai hingga ground support diharapkan bisa melakukan hal ini. “Ini yang akan kita gali ilmu ini sebagai bagian dari layanan prima,” kata Pandu.Bandara YIA berkembang seiring dengan Yogyakarta yang kini menjadi salah satu destinasi wisata utama setelah Pulau Bali.Keramahan pada penyandang cacat pun menjadi perhatian besar. Setelah bandara, tempat-tempat lain pun di Yogyakarta sebagai tempat ramah bagi difabel akan terus tumbuh, termasuk hotel dan destinasi wisata.“Amenity destinasi ini akan berpandangan untuk disabilitas juga. Misal perhotelan. Dari sisi PHRI dan ASITA jangan sampai ada hotel tidak ada toilet untuk difabel,” kata Pandu.“Tapi ini masih awal. Kita perlu pendalaman detil. Kami datangkan semua asosiasi dan Indonesia Caring. Mumpung bandara belum full operation sehingga ada langkah agar semua siap,” kata Pandu.Perbaikan YIA
Ada fasilitas standar disediakan YIA bagi penyandang disabilitas. Relawan Indonesia Caring, Anggiasari Puji Aryatie mengakui bagaimana fasilitas itu belum sepenuhnya memadai.Anggiasari, difabel diskondroplasia di mana pertumbuhan badannya tidak berkembang baik akibat gangguan pertumbuhan tulang rawan. Anggia, panggilannya, tidak sampai setinggi pinggang.Dengan kondisi tubuhnya itu, Anggia mengaku banyak hal yang menyulitkan dirinya, seperti: counter check in yang yang masih terlalu tinggi, toilet khusus difabel yang juga masih terlalu tinggi, tidak ada pijakan tambahan bagi orang seukuran dirinya di ATM, hingga soal sensor pintu otomatis.“Saya hampir terjelungup ke toilet karena terlalu tinggi untuk saya. Kalau di Halim (Jakarta), ada dua bentuk toilet difabel yakni yang pendek dan normal,” katanya.Menurutnya, peninjauan ini perlu mengingat YIA berniat memberi layanan prima bagi difabel.Dasarnya adalah agar mereka bisa melakukan secara mandiri tanpa bantuan orang lain untuk semua jenis kecacatan.YIA perlu melakukan sejumlah perbaikan dan penyempurnaan di segala sisi di tengah fasilitas yang cukup lengkap.“Karenanya perlu pelibatan difabel dan organisasinya untuk cek langsung apakah ini bisa digunakan atau tidak,” katanya.Masih kurang nyaman
Sri Lestari mengungkapkan, banyak sarana khusus difabel yang dirasa kurang nyaman untuk digunakan.Sebagai penyandang cacat yang lumpuh separuh tubuh ke bawah lumpuh (parapelgi) seperti dirinya, ia melihat beberapa kekurangan tidak hanya soal pemasangan handrail hingga penempatan wastafel dalam toilet difabel.Ia mendapati bagaimana jalan khusus difabel kursi roda terasa terlalu curam, licin, belum tersedia handrail, hingga belum ada parkir khusus roda 3.“Parkir ini harus dengan gambar atau tulisan sebagai rambu bahwa di sana tidak boleh dipakai orang yang tidak sesuai haknya,” kata Sri.Ia juga menemukan masih ada pintu belum otomatis yang membuat dirinya terpaksa mendorong kaca itu dengan kursi roda. “Itu bisa merusak kaca,” katanya.Penyandang cacat tubuh yang menggunakan kursi roda, Bahrul Fuad menyorot tentang kebiasaan orang yang tidak memberi penghargaan pada para penyandang cacat.Ini terlihat dari banyak ditemui baik kursi, tempat parkir, bahkan toilet khusus difabel malah dipakai orang yang tidak cacat atas alasan tertentu.Fuad berharap AP I terus mendorong edukasi dan sosialisasi kepada publik soal pengguna fasilitas difabel. Dengan demikian, semua orang bisa merasakan manfaat keseluruhan jasa bandara tanpa mengabaikan yang lain.“Perlu ada edukasi dan sosialisasi publik tentang penggunaan fasilitas penyandang disabilitas. Jangan sampai ada priority seat atau tempat duduk (gambar) kursi roda, atau yang sudah ada tandanya untuk anak, lansia, ibu hamil, dan difabel, tapi tetap digunakan oleh orang yang tidak punya hak di situ,” kata Fuad.“Kalau toilet sudah jelas kursi roda ya jangan sampai dipakai oleh orang lain dengan alasan kebelet,” katanya.4 Kategori Disabilitas
YIA menggandeng Indonesia Caring untuk menyusun apapun yang bisa melayani kaum difabel lebih nyaman dan leluasa saat menjadi pengguna jasa bandara.Komunitas ini gabungan dari Association of The Indoneisan Tours and Travel (ASITA), Yayasan Kristen untuk Kesehatan Umum (YAKKUM), United Celebral Palsy (UCP), Gerakan untuk Kesejahteraan Tunarungu Indonesia (GERKATIN), dan Sasana Inklusi dan Gerakan Advokasi Difabel (SIGAB).Koordinator Indonesia Caring, Meyra Marianti mengungkapkan ada banyak ragam disabilitas. Namun, semuanya terpilah dalam 4 besar, yakni disabilitas mental, sensorik, intelektual, dan fisik.Ia berharap, asesmen nanti bisa mewujudkan bandara nan ramah pada pada kebutuhan dasar difabel dari masing-masing kategori tersebut.“Paling tidak mereka bisa mandiri tanpa asistensi, sehingga tidak harus dipegang,” kata Meyra.
Sumber Berita :