Harianjogja.com, WATES--Pemerintah Kabupaten Kulonprogo akan mencari solusi untuk menyelesaikan polemik terkait penolakan penataan kawasan Pantai Glagah dan Kawasan Keselamatan Operasi Penerbangan (KKOP) oleh para pelaku usaha di wilayah tersebut.
Bupati Kulonprogo, Hasto Wardoyo mengatakan penolakan terhadap proyek pembangunan merupakan hal yang lumrah terjadi. Dari penolakan ini, Hasto melihat ada aspirasi masyarakat yang ingin disampaikan.
"Mereka kan ingin menyampaikan suatu harapan, tantunya bukan harapan yang saklek, karena pasti ada celah untuk menyamakan kepentingan antara mereka dan pemerintah," kata Hasto kepada awak media, Rabu (13/3/2019).
Atas hal itu untuk menghindari masalah berkepanjangan, pihaknya bakal mencari solusi. Hasto juga membuka kemungkinan adanya pertemuan dengan pelaku usaha untuk bersama-sama memecahkan masalah ini. Hanya saja dia belum bisa memastikan kapan itu akan dilakukan. "Nanti kita lihat dulu, karena perlu didiskusikan dengan yang ahli," ujarnya.
Menyoal alasan penolakan penataan Pantai Glagah karena belum adanya sosialisasi dari pemerintah kepada pelaku usaha, Hasto mengatakan jika hal itu akan dilakukan sebelum proses penataan dimulai. Sementara terkait Detailed Engineering Design (DED) Pantai Glagah, menurutnya tak perlu ada sosialisasi karena masih berupa konsep.
"Baru nanti saat mau dibangun yang mungkin bisa saja tahun 2020 atau lebih akan ada sosialisasi. DED kan masih konsep kan, saya ngerti kok ini tujuannya agar warga diuwongkan [dimanusiakan] dan kalau Glagah ditata kan bisa memakmurkan warga sekitar, itu yang harusnya disamakan persepsinya," jelas Hasto.
Hasto memastikan, dengan ditatanya Pantai Glagah akan berdampak positif kepada pelaku usaha di wilayah tersebut. Salah satunya meningkatkan perekonomian warga. Hanya saja untuk bangunan di lokasi penataan seperti penginapan dan tambak udang tetap harus digusur.
Untuk penginapan meski diakuinya telah membayar pajak tiap bulan, akan tetapi lokasinya tetap melanggar aturan. Dengan kata lain bangunan tersebut ilegal. "Mereka kan punya pendapatan, dan tiap pendapatan itu masuk ke pajak, jadi Jangan campur adukan antara kewajiban pajak dan ketertiban lingkungan," ujarnya.
Hasto mengatakan sejak dilantik untuk kedua kalinya sebagai bupati, pihaknya telah mendatangi sejumlah hunian termasuk penginapan di Pantai Glagah. Dari kedatangannya tersebut, warga yang memiliki hunian telah setuju jika nanti wilayah itu dipakai pemerintah maka mereka rela untuk pindah.
Sementara untuk nasib petambak udang di selatan New Yogyakarta International Airport (NYIA), Hasto memastikan tetap akan melakukan penggusuran. Hal ini mengingat kawasan sekitar bandara harus steril dan aman. "Mitigasi bencana tetap diperlukan, tapi karena mereka punya keinginan untuk didengarkan, tentu harus tetap dicarikan solusi," ujarnya.
Diberitakan sebelumnya, penataan kawasan Pantai Glagah dan KKOP mendapat penolakan dari tiga paguyuban yang menaungi para pelaku usaha di selatan NYIA di Kecamatan Temon. Ketiga paguyuban itu yakni Paguyuban Pondok Laguna Pantai Glagah dan Paguyuban Penginapan Pantai Glagah yang menolak penataan Pantai Glagah. Kemudian terdapat Paguyuban Petambak Udang Galitanjang yang enggan digusur untuk penataan KKOP.
Penolakan penataan ini juga muncul lantaran rasa kekecewaan pelaku usaha terhadap Pemerintah Kabupaten Kulonprogo yang dianggap abai terhadap keberadaan mereka di kawasan tersebut. Ketua Paguyuban Pondok Laguna Pantai Glagah, Subardi Wiyono mengatakan kekecewaan ini mencuat karena pemkab tidak menyertakan pelaku usaha dalam penyusunan Detailed Engineering Design (DED) kawasan Pantai Glagah yang telah rampung akhir 2018 lalu.
"Dalam penataan harusnya menyerap aspirasi dari pelaku usaha. Pemkab harus duduk bersama, jangan asal pake masterplan, ya kami menolak, karena kami inginnya wisata Glagah jadi wisata alami, tak usah muluk-muluk seperti di masterplan itu," kata Subardi, Selasa (12/3/2019).
Sementara Ketua Penginapan Pantai Glagah, Sarino atau yang kerap disapa Bento mengatakan adanya penataan pantai Glagah berimbas pada tergusurnya seluruh penginapan di obyek wisata tersebut. Hal itu menjadi kekhawatiran pihaknya lantaran tak ada kejelasan atas nasib pelaku usaha penginapan usai bangunan mereka diratakan, sedangkan para pemilik penginapan menggantungkan hidupnya dari usaha tersebut.
"Bahkan saat ini, sejumlah pekeja di proyek NYIA juga memanfaatkan penginapan tersebut sebagai rumah indekos. Saat ini ada 18 penginapan dengan total kamar mencapai 200-an, tapi kami dianggap ilegal dan tidak tahu nanti nasibnya kaya gimana. Kami ingin tetap berwirausaha jadi kami tak mau digusur," kata dia.
Meski dianggap ilegal, para pemilik penginapan ini tetap rutin membayar pajak penginapan setiap bulannya kepada Pemkab Kulonprogo. "Setiap bulannya kami membayar untuk 18 penginapan itu sekitar Rp4 juta-an. Dulu sempat berhenti satu bulan, tapi lanjut lagi rutin, ya aneh sebenarnya jika kami dianggap ilegal tapi pemkab tetap menerima pajak kami," ujar Bento.
Ketua Paguyuban Petambak Udang Gali Tanjang, Agung Supriyanto dengan tegas menolak proses penataan dan pengosongan lahan tambak untuk KKOP. Jika penggusuran tetap dilakukan, bukan tidak mungkin akan timbul konflik. "Itu kan pertaruhan masa depan kita, kalau terpaksa dengan pertarungan ya mari," ujarnya.
Agung mengungkapkan sebagian besar petambak udang di selatan NYIA merupakan warga terdampak bandara yang telah merelakan tanahnya untuk mendukung pembangunan proyek nasional tersebut. Para petambak ini merasa Pemkab tak acuh terhadap mereka bila harus merelakan tambaknya.
"Kami ini sudah ngalah, ngalih, aja ngasi ngelih [sudah mengalah melepaskan lahan, sudah pergi dari lahan bandara, jangan sampai kelaparan], kami ya tegas menolak rencana tersebut," kata Agung.
Penolakan ini lanjutnya, lantaran kawasan tambak udang di selatan NYIA dianggap tak mengganggu KKOP. Pasalnya, di area tambak tak ada bangunan tinggi yang mengganggu KKOP. Dia memastikan saat ini ratusan tambak udang masih beroperasi.