Harianjogja.com, KULONPROGO-Sampurna Asih adalah KSM pengelola sampah
pertama di Kulonprogo. Sejumlah warga setempat merintisnya sejak 2011
silam. Setelah resmi beroperasi pada Maret 2012, KSM Sampurna Asih
saat ini telah melayani lebih dari 700 kepala keluarga (KK) di wilayah
Kecamatan Pengasih dan Wates.
Penggalan sejarah KSM Sampurna Asih itu disampaikan Suryono kepada
Harian Jogja, Sabtu (5/9/2015) pagi. Dia baru saja selesai
mengumpulkan sampah dari beberapa anggota di sekitar Dayakan.
"Pengelolaan sampah itu syarat dengan ibadah. Menyadarkan masyarakat
tidak semudah membalikkan telapak tangan," tutur Suryono sembari
mengajak Harian Jogja menuju ruang sekretariat KSM Sampurna Asih.
Suryono adalah Ketua II KSM Sampurna Asih. Merasa khawatir tidak bisa
memberikan informasi lengkap, dia pun menelepon Ketua I, Sudjendro.
"Dulu kita satu-satunya di Kulonprogo. Iurannya cuma Rp10.000 per
bulan. Kalau sekarang naik jadi Rp15.000," ucap Suryono.
Sembari menunggu Sudjendro, Suryono meneruskan ceritanya. Bagi dia,
membesarkan KSM Sampurna Asih adalah perjuangan besar. "Awal mau
membuat kelompok, kami ditarget harus punya anggota 250 orang dalam
tiga bulan. Padahal waktu itu baru ada 90 orang," papar dia.
Belum lama Suryono bercerita, Sudjendro datang. Dia langsung
bersemangat memaparkan kisah suka duka KSM Sampurna Asih. "Bangunan
pusat pengelolaan sampah sudah berdiri sejak Juli 2011, lalu Agustus
kami bentuk pengurus dan segera sosialisasi kepada masyarakat,"
ujarnya.
Biaya operasional awalnya lebih banyak ditanggung pengurus, termasuk
uang bensin. Mereka juga sempat ditentang warga pada tiga bulan
pertama. "Ada tetangga yang tidak suka karena katanya bikin bau dan
mengganggu. Kami lalu didatangi Ombudsman tapi ternyata itu tidak
terbukti," kata Sudjendro.
Menurut pensiunan berusia 67 tahun ini, saat itu masyarakat setempat
memang belum mengerti cara mengelola sampah. Wajar jika mereka
khawatir dengan keberadaan KSM yang dianggap serupa dengan tempat
pembuangan sementara (TPS).
Sekarang pun, masyarakat belum bisa memisahkan sampah menjadi tiga,
yaitu sampah organik, kertas, dan plastik. Padahal jika itu dilakukan,
beban petugas kebersihan bisa berkurang. "Tempat sampahnya sudah
dibuat terpisah tapi membuangnya ya sama saja. Memang masih butuh
waktu," tukas Sudjendro.
Setiap Senin hingga Jumat, pemilahan sampah menjadi kegiatan utama.
Selanjutnya pada hari Sabtu, mereka mengolah sampah organik menjadi
pupuk kompos. Namun, pupuk kompos yang dihasilkan kebanyakan juga
diambil para anggota secara cuma-cuma.
"Kalau ada yang mau beli juga boleh. Harganya Rp800 per kilogram.
Khusus anggota kami bebaskan. Biar mereka tahu kalau sampah bisa
diolah dan jadi bermanfaat," ungkapnya.
Senada dengan Suryono, menjadi pengurus KSM Sampurna Asih adalah
ibadah bagi Sudjendro. Mereka tidak dibayar sepeser pun. Hasil
penjualan sampah yang telah dipilah dan iuran anggota memang hanya
cukup untuk membayar honor delapan pekerja pengambil sampah dan
sejumlah biaya operasional lain. "Tekad kami ingin mengabdikan diri,"
ungkapnya kemudian.
Lihat arsip:
http://kwkp.blogspot.com
pertama di Kulonprogo. Sejumlah warga setempat merintisnya sejak 2011
silam. Setelah resmi beroperasi pada Maret 2012, KSM Sampurna Asih
saat ini telah melayani lebih dari 700 kepala keluarga (KK) di wilayah
Kecamatan Pengasih dan Wates.
Penggalan sejarah KSM Sampurna Asih itu disampaikan Suryono kepada
Harian Jogja, Sabtu (5/9/2015) pagi. Dia baru saja selesai
mengumpulkan sampah dari beberapa anggota di sekitar Dayakan.
"Pengelolaan sampah itu syarat dengan ibadah. Menyadarkan masyarakat
tidak semudah membalikkan telapak tangan," tutur Suryono sembari
mengajak Harian Jogja menuju ruang sekretariat KSM Sampurna Asih.
Suryono adalah Ketua II KSM Sampurna Asih. Merasa khawatir tidak bisa
memberikan informasi lengkap, dia pun menelepon Ketua I, Sudjendro.
"Dulu kita satu-satunya di Kulonprogo. Iurannya cuma Rp10.000 per
bulan. Kalau sekarang naik jadi Rp15.000," ucap Suryono.
Sembari menunggu Sudjendro, Suryono meneruskan ceritanya. Bagi dia,
membesarkan KSM Sampurna Asih adalah perjuangan besar. "Awal mau
membuat kelompok, kami ditarget harus punya anggota 250 orang dalam
tiga bulan. Padahal waktu itu baru ada 90 orang," papar dia.
Belum lama Suryono bercerita, Sudjendro datang. Dia langsung
bersemangat memaparkan kisah suka duka KSM Sampurna Asih. "Bangunan
pusat pengelolaan sampah sudah berdiri sejak Juli 2011, lalu Agustus
kami bentuk pengurus dan segera sosialisasi kepada masyarakat,"
ujarnya.
Biaya operasional awalnya lebih banyak ditanggung pengurus, termasuk
uang bensin. Mereka juga sempat ditentang warga pada tiga bulan
pertama. "Ada tetangga yang tidak suka karena katanya bikin bau dan
mengganggu. Kami lalu didatangi Ombudsman tapi ternyata itu tidak
terbukti," kata Sudjendro.
Menurut pensiunan berusia 67 tahun ini, saat itu masyarakat setempat
memang belum mengerti cara mengelola sampah. Wajar jika mereka
khawatir dengan keberadaan KSM yang dianggap serupa dengan tempat
pembuangan sementara (TPS).
Sekarang pun, masyarakat belum bisa memisahkan sampah menjadi tiga,
yaitu sampah organik, kertas, dan plastik. Padahal jika itu dilakukan,
beban petugas kebersihan bisa berkurang. "Tempat sampahnya sudah
dibuat terpisah tapi membuangnya ya sama saja. Memang masih butuh
waktu," tukas Sudjendro.
Setiap Senin hingga Jumat, pemilahan sampah menjadi kegiatan utama.
Selanjutnya pada hari Sabtu, mereka mengolah sampah organik menjadi
pupuk kompos. Namun, pupuk kompos yang dihasilkan kebanyakan juga
diambil para anggota secara cuma-cuma.
"Kalau ada yang mau beli juga boleh. Harganya Rp800 per kilogram.
Khusus anggota kami bebaskan. Biar mereka tahu kalau sampah bisa
diolah dan jadi bermanfaat," ungkapnya.
Senada dengan Suryono, menjadi pengurus KSM Sampurna Asih adalah
ibadah bagi Sudjendro. Mereka tidak dibayar sepeser pun. Hasil
penjualan sampah yang telah dipilah dan iuran anggota memang hanya
cukup untuk membayar honor delapan pekerja pengambil sampah dan
sejumlah biaya operasional lain. "Tekad kami ingin mengabdikan diri,"
ungkapnya kemudian.
Lihat arsip:
http://kwkp.blogspot.com