KULONPROGO ( KRjogja.com)- Kehadiran UU No 6/ 2014 tentang desa
hendaknya bisa membuat desa jadi mandiri dengan menempatkannya sebagai
subjek pembangunan. Mengingat kades, perangkat desa (perades) dan
Badan Permusyawaratan Desa (BPD) paling tahu dan paham kondisi
desanya, maka pemdes harus didorong pro aktif merumuskan
kebutuhan-kebutuhan desanya.
Dengan terbitnya UU Desa, pemdes mestinya bersyukur mengingat ketika
UU 32/2004 sering kali rawan politisasi oleh pemkab. Contohnya alokasi
dana desa yang jelas-jelas itu hak desa berdasarkan konsitusi UU No
32/2004 sering dipolitisasi oleh kabupaten terutama menjelang Pilkada.
Saat itu komisi-komisi dari lembaga legislatif datang ke desa membawa
oleh-oleh, padahal uang leh-oleh tersebut sesungguhnya memang dana
untuk desa.
"UU No 6/2014 tentang Desa memotong rantai politisasi tersebut
sekaligus mengembalikan hak konstitusional kepada desa dengan
menghubungkan RPJMD dengan RPJMDesa. UU Desa bermaksud menghilangkan
kesenjangan antardesa. Jadi cita-cita UU No 6 tahun 2014 mendudukkan
desa bisa berdaulat sebagai subjek aktif yang punya ruang," tegas
Dosen Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada
(UGM) sekaligus inisiator Undang Undang (UU) Desa, Arie Sujito SSos
dalam Workshop Pengelolaan Keuangan Desa Bagi Para Kepala Desa dan
Perades se-Kabupaten Kulonprogo yang diselenggarakan 'Tim Migunani' PT
BP Kedaulatan Rakyat bekerjasama Pemkab Kulonprogo dan didukung penuh
PD BPR Bank Pasar Kulonprogo di Aula Adikarta Gedung Kaca Kompleks
Pemkab Kulonprogo, Selasa (19/05/2015).
Dijelaskan, kalau Kades dan Perangkat Desa (Perades) serta Badan
Permusyawaratan Desa (BPD) kreatif dana desa sebesar Rp 1 miliar
sesungguhnya kurang untuk membiayai kegiatan di desa. Sebaliknya kalau
pamong tidak pernah berpikir, cuma duduk dan binggung maka dipastikan
dana desa hanya Rp 200 juta saja dianggap susah menyerapnya atau
ngecake.
Workshop yang dimoderatori Wapemred KR, Drs HM Ahmad Lutfi MA,
sosiolog UGM tersebut menegaskan, kades dan perades serta BPD
hendaknya menyambut secara pro aktif Undang Undang Nomor 6 tahun 2014
tentang Desa. Dijelaskan berbicara tentang UU Desa maka pamong desa
jangan menyederhanakannya hanya sekadar anggaran semata.
Selama republik ini berdiri baru sekarang pemerintah menerbitkan UU
yang khusus mengatur tentang desa. Tujuan UU Desa diterbitkan adalah
ada perubahan orientasi, konteks dan nasib desa ke depan. Bicara
tentang pengelola keuangan desa jangan justru menjadi beban desa dalam
hal ini kades, perades dan BPD.
"Jika sampai jadi beban desa maka dalam kesehariannya kades bukannya
berbicara tentang memberdayakan masyarakat, cara memimpin rakyat untuk
gotong royong tapi malah sibuk membuat kuitansi dan laporan. Itu tidak
boleh terjadi karena masalah tersebut bukan urusan kades," jelas Arie
Sujito.
Sementara itu Staf Dosen STPMD APMD Drs Sumarjono yangjuga hadir
sebagai pembicara dalam kesempatan ini menjelaskan, selama ini negara
dalam memperlakukan desa tidak adil. Uang yang masuk desa dikatakan
bantuan presiden (banpres), inpres, inpres desa tertinggal (IDP).
Sekarang UU No 6/ 20014 konsepnya adalah desa mandiri.
Konteks kemandian desa bisa diberi kewenangan, sehingga dikenal UU No
6/ 20014. Satu desa, satu rencana dan satu anggaran. Jadi atas
kewenangan tersebut negara memberikan penghargaan dan berbuat adil
dengan memberikan dana kepada desa.
"Dengan adanya dana desa tersebut sangat wajar pemerintah desa dalam
hal ini kades, perades, BPD penuh harap bisa mensejahterakan rakyat di
desanya masing-masing. Bisa terwujud atau tidaknya harapan tersebut
tentu tergantung dari kemampuan kades, perades, BPD dan tokoh serta
masyarakat dalam membangun wilayah desanya," katanya.(Rul/Ras/Wid)
hendaknya bisa membuat desa jadi mandiri dengan menempatkannya sebagai
subjek pembangunan. Mengingat kades, perangkat desa (perades) dan
Badan Permusyawaratan Desa (BPD) paling tahu dan paham kondisi
desanya, maka pemdes harus didorong pro aktif merumuskan
kebutuhan-kebutuhan desanya.
Dengan terbitnya UU Desa, pemdes mestinya bersyukur mengingat ketika
UU 32/2004 sering kali rawan politisasi oleh pemkab. Contohnya alokasi
dana desa yang jelas-jelas itu hak desa berdasarkan konsitusi UU No
32/2004 sering dipolitisasi oleh kabupaten terutama menjelang Pilkada.
Saat itu komisi-komisi dari lembaga legislatif datang ke desa membawa
oleh-oleh, padahal uang leh-oleh tersebut sesungguhnya memang dana
untuk desa.
"UU No 6/2014 tentang Desa memotong rantai politisasi tersebut
sekaligus mengembalikan hak konstitusional kepada desa dengan
menghubungkan RPJMD dengan RPJMDesa. UU Desa bermaksud menghilangkan
kesenjangan antardesa. Jadi cita-cita UU No 6 tahun 2014 mendudukkan
desa bisa berdaulat sebagai subjek aktif yang punya ruang," tegas
Dosen Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada
(UGM) sekaligus inisiator Undang Undang (UU) Desa, Arie Sujito SSos
dalam Workshop Pengelolaan Keuangan Desa Bagi Para Kepala Desa dan
Perades se-Kabupaten Kulonprogo yang diselenggarakan 'Tim Migunani' PT
BP Kedaulatan Rakyat bekerjasama Pemkab Kulonprogo dan didukung penuh
PD BPR Bank Pasar Kulonprogo di Aula Adikarta Gedung Kaca Kompleks
Pemkab Kulonprogo, Selasa (19/05/2015).
Dijelaskan, kalau Kades dan Perangkat Desa (Perades) serta Badan
Permusyawaratan Desa (BPD) kreatif dana desa sebesar Rp 1 miliar
sesungguhnya kurang untuk membiayai kegiatan di desa. Sebaliknya kalau
pamong tidak pernah berpikir, cuma duduk dan binggung maka dipastikan
dana desa hanya Rp 200 juta saja dianggap susah menyerapnya atau
ngecake.
Workshop yang dimoderatori Wapemred KR, Drs HM Ahmad Lutfi MA,
sosiolog UGM tersebut menegaskan, kades dan perades serta BPD
hendaknya menyambut secara pro aktif Undang Undang Nomor 6 tahun 2014
tentang Desa. Dijelaskan berbicara tentang UU Desa maka pamong desa
jangan menyederhanakannya hanya sekadar anggaran semata.
Selama republik ini berdiri baru sekarang pemerintah menerbitkan UU
yang khusus mengatur tentang desa. Tujuan UU Desa diterbitkan adalah
ada perubahan orientasi, konteks dan nasib desa ke depan. Bicara
tentang pengelola keuangan desa jangan justru menjadi beban desa dalam
hal ini kades, perades dan BPD.
"Jika sampai jadi beban desa maka dalam kesehariannya kades bukannya
berbicara tentang memberdayakan masyarakat, cara memimpin rakyat untuk
gotong royong tapi malah sibuk membuat kuitansi dan laporan. Itu tidak
boleh terjadi karena masalah tersebut bukan urusan kades," jelas Arie
Sujito.
Sementara itu Staf Dosen STPMD APMD Drs Sumarjono yangjuga hadir
sebagai pembicara dalam kesempatan ini menjelaskan, selama ini negara
dalam memperlakukan desa tidak adil. Uang yang masuk desa dikatakan
bantuan presiden (banpres), inpres, inpres desa tertinggal (IDP).
Sekarang UU No 6/ 20014 konsepnya adalah desa mandiri.
Konteks kemandian desa bisa diberi kewenangan, sehingga dikenal UU No
6/ 20014. Satu desa, satu rencana dan satu anggaran. Jadi atas
kewenangan tersebut negara memberikan penghargaan dan berbuat adil
dengan memberikan dana kepada desa.
"Dengan adanya dana desa tersebut sangat wajar pemerintah desa dalam
hal ini kades, perades, BPD penuh harap bisa mensejahterakan rakyat di
desanya masing-masing. Bisa terwujud atau tidaknya harapan tersebut
tentu tergantung dari kemampuan kades, perades, BPD dan tokoh serta
masyarakat dalam membangun wilayah desanya," katanya.(Rul/Ras/Wid)