TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA -Para siswa SDN Kalimenur Sentolo berkumpul
dalam kelompok-kelompok kecil di belakang sekolah, Rabu (27/5/2015)
siang.
Mereka bersama-sama membuat pupuk kompos dan kerajinan dari dedaunan
kering dan barang bekas.
Tugas-tugas itu mereka kerjakan sesekali di sela-sela kegiatan belajar
mengajar. Namun tugas pokok harian mereka, selain belajar, adalah
mengumpulkan dan memungut sampah di sekitar sekolah.
Sampah daun kering mereka pilah dan olah menjadi kompos untuk memupuk
tanaman serta kebun sekolah.
Dalam waktu empat tahun, sekolah yang pada 2011 lalu masih gersang,
kini menjadi rindang penuh tanaman bunga dan obat-obatan. Semua itu
berkat tangan-tangan siswa bersama para guru yang peduli lingkungan.
Perjuangan mereka selama empat tahun menjadi sekolah berwawasan
lingkungan pun menunjukkan hasilnya.
Selain menjadi sekolah yang ramah lingkungan, kali ini mereka terpilih
mewakili Kulonprogo maju penilaian Sekolah Adiwiyata tingkat DIY.
Di sela-sela penilaian oleh tim dari DIY dan Kulonprogo, Rabu siang,
itu para siswa menunjukkan kebolehannya mengolah dedaunan kering dan
sampah plastik menjadi kompos dan kerajinan.
Di belakang sekolah itu, Nanda terlihat meremas-remas sampah daun
kering bersama belasan siswa lainnya yang membentuk lingkaran.
Teman lainnya, Rohmad Hermanto juga melakukan hal yang sama.
"Setiap hari mengumpulkan sampah. Kadang bawa kotoran sapi ke sekolah.
Ini menyenangkan karena bisa belajar membuat kompos," katanya.
Nia, siswi berambut kemerah-merahan yang duduk bersama empat temannya
di paling pojok mengerjakan kerajinan tas.
Sementara, sejumlah siswa lainnya membuat piring buah berbahan tutup
minuman kemasan dan topeng dari bubur kertas bekas.
Semua kegiatan siswa dan guru itu menyertai penilaian Adiwiyata di
sekolah tersebut pada Rabu siang itu. Guru pendamping, Alzizul Arifin,
mengatakan selama ini nyaris tidak ada bakar-membakar sampah di
sekolah.
Semua sampah baik daun kering mapun plastik bekas dikumpulkan untuk diolah.
"Sekolah membiasakan peduli lingkungan sejak lama. Saat datang,
istirahat, dan pulang, mereka mengumpulkan sampah, kadang bawa kotoran
sapi. Dalam dua bulan pupuk kompos dalam tong siap untuk memupuk
tanaman di sekolah. Sampah plastik buat kerajinan, yang tidak bisa
diolah kami jual," kata Azizul, saat mendampingi siswa di sela-sela
penilaian tersebut.
Tak heran, sekolah yang dulu gersang tanpa tanaman itu kini mulai
tampak rindang. Sekolah itu bahkan memiliki kebun obat-obatan
tradisional semacam tanaman jahe dan sebagainya.
Kepala SDN Kalimenur, Karsiyem, mengatakan perintisan sekolah
Adiwiyata dilakukan sejak empat tahun lalu.
"Ada empat komponen Adiwiyata, terkait kebijakan sekolah soal
lingkungan, kurikulum, pendidikan lingkungan berbasis partisipatif,
dan pendidikan ramah lingkungan," katanya.
Kepala KLH Kulonprogo, Suharjoko, menyebut di Kulonprogo saat ini
terdapat tiga sekolah Adiwiyata mandiri, yakni SD 4 Wates, SMK 1
Wates, dan SD Kembangmalang.
"Ada juga sekolah Adiwiyata tingkat nasional SMA 1 Temon dan sekolah
Adiwiyata DIY SD Temon," tuturnya.( tribunjogja.com)
dalam kelompok-kelompok kecil di belakang sekolah, Rabu (27/5/2015)
siang.
Mereka bersama-sama membuat pupuk kompos dan kerajinan dari dedaunan
kering dan barang bekas.
Tugas-tugas itu mereka kerjakan sesekali di sela-sela kegiatan belajar
mengajar. Namun tugas pokok harian mereka, selain belajar, adalah
mengumpulkan dan memungut sampah di sekitar sekolah.
Sampah daun kering mereka pilah dan olah menjadi kompos untuk memupuk
tanaman serta kebun sekolah.
Dalam waktu empat tahun, sekolah yang pada 2011 lalu masih gersang,
kini menjadi rindang penuh tanaman bunga dan obat-obatan. Semua itu
berkat tangan-tangan siswa bersama para guru yang peduli lingkungan.
Perjuangan mereka selama empat tahun menjadi sekolah berwawasan
lingkungan pun menunjukkan hasilnya.
Selain menjadi sekolah yang ramah lingkungan, kali ini mereka terpilih
mewakili Kulonprogo maju penilaian Sekolah Adiwiyata tingkat DIY.
Di sela-sela penilaian oleh tim dari DIY dan Kulonprogo, Rabu siang,
itu para siswa menunjukkan kebolehannya mengolah dedaunan kering dan
sampah plastik menjadi kompos dan kerajinan.
Di belakang sekolah itu, Nanda terlihat meremas-remas sampah daun
kering bersama belasan siswa lainnya yang membentuk lingkaran.
Teman lainnya, Rohmad Hermanto juga melakukan hal yang sama.
"Setiap hari mengumpulkan sampah. Kadang bawa kotoran sapi ke sekolah.
Ini menyenangkan karena bisa belajar membuat kompos," katanya.
Nia, siswi berambut kemerah-merahan yang duduk bersama empat temannya
di paling pojok mengerjakan kerajinan tas.
Sementara, sejumlah siswa lainnya membuat piring buah berbahan tutup
minuman kemasan dan topeng dari bubur kertas bekas.
Semua kegiatan siswa dan guru itu menyertai penilaian Adiwiyata di
sekolah tersebut pada Rabu siang itu. Guru pendamping, Alzizul Arifin,
mengatakan selama ini nyaris tidak ada bakar-membakar sampah di
sekolah.
Semua sampah baik daun kering mapun plastik bekas dikumpulkan untuk diolah.
"Sekolah membiasakan peduli lingkungan sejak lama. Saat datang,
istirahat, dan pulang, mereka mengumpulkan sampah, kadang bawa kotoran
sapi. Dalam dua bulan pupuk kompos dalam tong siap untuk memupuk
tanaman di sekolah. Sampah plastik buat kerajinan, yang tidak bisa
diolah kami jual," kata Azizul, saat mendampingi siswa di sela-sela
penilaian tersebut.
Tak heran, sekolah yang dulu gersang tanpa tanaman itu kini mulai
tampak rindang. Sekolah itu bahkan memiliki kebun obat-obatan
tradisional semacam tanaman jahe dan sebagainya.
Kepala SDN Kalimenur, Karsiyem, mengatakan perintisan sekolah
Adiwiyata dilakukan sejak empat tahun lalu.
"Ada empat komponen Adiwiyata, terkait kebijakan sekolah soal
lingkungan, kurikulum, pendidikan lingkungan berbasis partisipatif,
dan pendidikan ramah lingkungan," katanya.
Kepala KLH Kulonprogo, Suharjoko, menyebut di Kulonprogo saat ini
terdapat tiga sekolah Adiwiyata mandiri, yakni SD 4 Wates, SMK 1
Wates, dan SD Kembangmalang.
"Ada juga sekolah Adiwiyata tingkat nasional SMA 1 Temon dan sekolah
Adiwiyata DIY SD Temon," tuturnya.( tribunjogja.com)